Rabu, 21 Agustus 2013

Sejarah Masjid Agung Palembang




Selain untuk menunaikan sholat lima waktu. Di sana kita juga bisa mengetahui seluk beluk masjid tua yang memiliki sejarah menarik.

Dilihat dari letaknya saja, Masjid Agung Palembang sangat strategis, tak jauh dari ikon kota Palembang, Jembatan Ampera dan tempat wisata lainnya seperti Benteng Kuto Besak serta Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.



Ketika TNOL berkunjung ke sana, di depan masjid telah terpampang poster besar menyambut bulan suci Ramadhan. Menurut penjaga masjid bernama Joni, setiap bulan puasa Masjid kebanggaan masyarakat "kota Pempek" ini memang punya agenda rutin.

Ada buka bersama, tarawih dan tadarus. Uniknya, Masjid Agung Palembang mengadakan sholat Tarawih dengan membaca satu juz per malamnya, sehingga dalam satu bulan bisa menghatamkan 30 juz Al Quran.


Mimbar Masjid Agung terlihat sangat unik dengan adaptasi budaya setempatCeramah agama diadakan setiap ba’da sholat dan menjelang berbuka puasa. Masjid juga menyediakan nasi bungkus dan tajil kepada jamaah yang berbuka di sana. Saat memasuki masjid, terlihat pintu masuk dan jendela terdapat kaligrafi Arab bercat kuning. Lantai diberi karpet biru dan tiang penyangga berwarna hijau.

Sejarah masjid sendiri didirikan oleh Sultan Mahmud Badarudin I, Jayo Wikramo pada Senin 1 Jumadil Akhir 1151 H atau tahun 1738 M. Dahulu lokasi masjid dikelilingi sungai. Sebelah selatan sungai Musi, sebelah barat sungai Sekanak, sebelah timur sungai Tengkuruk dan sebelah utara sungai Kapuran.

"Adanya sungai membuat jamaah dahulu mengambil wudhu langsung di sungai. Sekarang sungainya sudah menjadi jalan," terang Joni.

Spanduk dengan ragam kegiatan menyambut RamadhanPeresmian masjid untuk digunakan berlangsung Senin, 26 Mei 1748 M atau 28 Jumadil Awal 1151 H. Berhubung masjid dibangun Sultan, masyarakat setempat menyebutnya Masjid Sulton. Masjid dikelola dan ketuai langsung oleh Sultan Mahmud Badaruddin I.

Tapi, operasional sehari-hari diurus Pangeran Penghulu. Ciri khas masjid ini adalah puncaknya yang berbentuk atap mustaka atau kepala. Bentuk mustaka yang terjurai melengkung ke atas di empat sisi ujung atap menyerupai bentuk bangunan Cina.

Tahun 1753 menara pertama dibangun pada bagian kiri masjid yang mengarah ke Selatan dengan ukuran tinggi 30 meter dan garis tengah tiga meter. Selanjutnya, tahun 1897 dibawah kepemimpinan Pangeran Penghulu masjid diperluas. Perluasan juga dilakukan kembali di tahun 1930 oleh Hopa Penghulu Ki Agus Nang Toyib dan kawan-kawan.

Lalu pada 2 Januari 1970, menara kedua dibangun. Menara berbentuk persegi 12 dengan ketinggian 45 meter. Bangunan dibiayai oleh Pertamina dan diresmikan tanggal 1 Februari 1971. Perubahan penyebutan Masjid Sulton menjadi Masjid Agung Palembang terjadi saat berakhirnya kesultanan Palembang Darussalam pada 7 Oktober 1823.

Bangunan asli Masjid AgungSejak saat itu, disebut Masjid Agung Palembang. Di tahun 1947 kepengurusan masjid diatur oleh suatu badan dengan nama Beheerscommisie (Komisi Pengelola) dibawah pimpinan Hoofd Penghulu (Penghulu Kepala).

Selama berdiri, masjid pernah mengalami restorasi dan renovasi dimasa Gubernur Sumsel Rosihan Arsyad. Restorasi dan renovasi dilakukan dengan menambah tiga bangunan arah utara, bangunan tiga lantai di arah timur, serta bangunan kuba. Peresmian dilakukan oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri pada 16 Juni 2003.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor : MA/233/2003 tanggal 23 Juli 2003, Masjid Agung Palembang ditetapkan sebagai Masjid Nasional. Masjid juga ditetapkan menjadi salah satu cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya serta Surat Peraturan Menteri Nomor : PM.19/UM.101/MKP/2009 tentang Penetapan Objek Vital Nasional Bidang Kebudayaan dan Pariwisata.(Sbh)














Jendela masjid juga tak luput dari kaligrafi



Masjid Agung terlihat dari depan

0 komentar:

Posting Komentar